Kisah
beraneka rasa ini ku mulai saat bibirku yang tipis mulai bisa berceloteh
sedikit-sedikit tentang sebuah kata yang aneh rasanya bila baru dikenal oleh
seorang remaja yang telah memakan waktu 17 tahun dalam mengarungi kehidupannya.
Tepat sekali..sebuah kata berurai makna itu ialah “cinta”, hanya terdiri dari 5
huruf namun katanya mampu membius segala keadaan dan mengubah semua persepsi
maupun pandangan. Entah dari mana asalnya dan mengapa aku bisa berbicara bahkan
merasakannya, setidaknya itu ku yakini setelah aku mempelajari ciri-ciri orang
yang sedang dimabuk cinta lewat internet.
Semua
karena senyumnya. Senyum yang berbeda dari jutaan senyum yang pernah kulihat
sebelumnya. Mungkin ini terlalu berlebihan namun aku juga tak mungkin berbohong
pada perasaan yang baru pertama kalinya ku kecap. Dia memang tidak terlalu
tampan dan gagah. Dia juga tidak memukau akan prestasi akademik maupun non
akademik. Tapi ia memiliki suatu daya tertarik sendiri yang entah apa aku pun
juga belum bisa memastikan hal itu. Lelaki yang memiliki lesung pipi ini
memiliki nama yang juga manis semanis empunya yaitu “Andika Devansyah” yang
lebih sering dipanggil kak Devan karena memang kedudukannya di SMA Tunas Mulia paling
tinggi yaitu kelas XII AP . Aku mengenalnya saat aku tengah kebingungan memilih
jurusan yang tepat untuk kumasuki di kelas XI karena jujur saja semua pelajaran
yang menjamur pada saat kelas X membuatku hampir frustasi bahkan untuk
menentukan keinginanku saat dewasa nanti pun belum jelas arahnya.
Namun ternyata Tuhan masih
melimpahkan rahmat pada hambanya yang sedang kesusahan. Ia mengirimkan Kak
Devan sebagai malaikat penolongku sehingga aku bisa menempati kelas XI IPA 1
sekarang. Ia benar-benar sosok yang dewasa dan mengerti setiap keinginanku
meski baru beberapa hari aku mengenalnya. Namun sayangnya, setelah itu aku tak
pernah lagi dekat dengannya bahkan bertegur sapa pun sangat jarang, aku tidak
mengetahui nomor handphonenya dan aku juga tidak berani untuk memintanya
walaupun melalui teman kak Devan sekalipun. Itulah aku, begitu pemalu sampai
aku sendiri pusing memikirkan sifatku yang satu ini.
Pagi yang cerah kembali menyapa dibalik deretan pohon rindang yang bergoyang
lemah karena sang bayu yang menyegarkan sekujur tubuh. Seperti biasa pukul 6.30
ku langkahkan kakiku menembus dinginnya pagi menuju sekolah tercinta yang hanya
berjarak 100 meter dari rumah biruku sehingga aku tidak memerlukan kendaraan
dan tidak perlu merasa takut terlambat. Ku lihat di berbagai sudut sekolah yang
memang masih sepi, tak ku temukan sosok yang selama ini selalu ku kagumi meski
itu hanya didalam hati. Biasanya sosok itu selalu datang ke sekolah lebih awal
dariku hanya sekedar untuk membaca novel atau menunggu teman-temannya yang lain
datang. Tapi 3 hari belakangan ini kak Devan tak kunjung menampakkan wajah
lembutnya yang selalu kurindukan. Kemana ia aku tak tahu dan malu untuk
menanyakan hal itu sampai akhirnya aku putuskan untuk berdiam diri saja. Oh..
bodohnya aku saat itu.
“Hei san, kamu udah denger kabar belum tentang kak Devan? ” tiba-tiba
kedatangan yang membawa nama sosok pahlawan hatiku itu membuatku sedikit
kelagapan namun tersenyum dalam hati. Sejenak ku menarik napas.
“Hm… memangnya ada kabar apa rin? Gak tau tuh” jawabku berpura-pura sedikit
cuek namun tak sabar menanti jawaban sahabatku yang bernama Ririn Sabrina itu.
“ Payah kamu San, padahal kabar ini udah tersebar sampe keluar sekolah. Hm..
kak Devan katanya sekarang lagi frustasi berat gara-gara diputusin sama Sherin
gara-gara si Sherin selingkuh sama sahabatnya Kak Devan sendiri”
“ apa? Kamu serius rin?” aku benar-benar tak percaya dengan apa yang dikatakan
oleh sahabatku itu, aku tidak mengetahui sama sekali kalau ternyata selama ini
kak Devan telah memiliki kekasih yang amat dicintainya sampai-sampai ia
frustasi karena diselingkuhi oleh pacarnya itu.
“Iya lah Sandria, aku serius banget. Udah 3 hari kak Devan gak masuk gaa-gara
selalu mengurung diri dikamarnya. Pokoknya kasihan banget deh. Aku kira kak
Devan itu kuat dan tegar ternyata baru digituin sama cewek aja udah
melempem..huu” aku hanya terdiam mendengar perkataan sahabatku yang paling
aktif kalau bicara itu, aku berpikir keras dan mencoba merasakan apa yang
sebenarnya terjadi. Aku yakin yang dibicarakan Ririn itu bukanlah kak Devan.
Bukanlah kak Devan yang selalu indah dimataku akan semangatnya yang setiap
detik tak pernah absen membara. Namun, aku juga tidak bisa menyangkal kebenaran
yang diungkapkan Ririn, kak Devan amat mencintai kekasihnya dan kini ia harus
memetik hasil yang tidak seimbang dengan rasa yang benar-benar tulus itu. Dan
itu sungguh tidak adil setidaknya untuk aku yang setia mengaguminya. Aku tidak
rela kalau sosok yang ku kagumi itu berubah drastic hanya gara-gara cinta.
cinta yang tak pernah menghargai makna cinta. aku bertekad. Aku bertekad untuk
mengembalikan kak Devanku yang dulu meski aku belum tahu caranya. Yang pasti
mentari indahku harus kembali seperti pertama kali ia menatapku.
Malam itu aku duduk di kursi taman
di bawah hangatnya sinar rembulan yang menyelinap dalam setiap celah hatiku.
Aku menggenggam sebuah spidol berwarna merah dan memangku sebuah kertas putih
berukuran cukup besar yang sesekali terjatuh karena tertiup angin. Tepat pukul
21.00 aku mulai menorehkan tinta spidol itu ke atas kertas putih yang perlahan
penuh dengan rangkaian huruf A-Z secara acak. Setelah hampir satu jam pikiran
dan hati serta jemari tangan kananku berkutat saling bahu membahu, akhirnya
tulisan itu selesai dan siap untuk ku persembahkan kepada seseorang yang
mungkin tak pernah mengetahui bahwa ada seseorang yang telah menuliskan 100
puisi yang bercerita tentang keindahan dan kesempurnaan hadirnya.
Bungkusan itu kini telah terlihat indah dan sempurna dipandang mata. Dengan
sampul kado berwana biru dan pita cantik berwarna merah yang membalutnya ku
harap mampu membuat senyum dan semangat itu kembali meski itu memang belum
pasti. Ku langkahkan kedua kakiku perlahan meunuju sebuah rumah berwarna merah
dengan mengendari sebuah sepeda motor pemberian almarhum ayahandaku. Setelah 30
menit menempuh perjalanan akhirnya aku tiba juga di depan gerbang sebuah rumah
yang memiliki penghuni seorang lelaki muda yang manis dan mempesona bagiku. Ku
perhatikan rumah yang nampaknya sepi itu, begitu dingin dan tak terasa
kehangatan sama sekali. Mungkin itu hanya perasaanku saja atau memang benar
adanya aku tak tahu. Aku pun mengetuk gerbang rumah itu dan terlihat seorang
wanita tua yang sepertinya adalah pembantu rumah tangga disana berlari menuju
gerbang dan segara membukakannya untuk menyambut kehadiranku.
“Maaf ada yang bisa saya bantu mbak?” sapa lembut wanita yang terlihat berusia
kepala 4 itu kepadaku.
“oh iya bik, bik saya boleh minta tolong untuk memberikan bingkisan ini kepada
Kak Devan?” bibi itu tersenyum dan mengambil bingkisan yang ku bawa itu dari
tanganku.
“Iya mbak nanti saya sampaikan sama den Devan, maaf dari mba siapa ya?” aku
terdiam sesaat dan memutuskan untuk tidak memberitahukan namaku. Aku tak ingin
kak Devan tahu aku yang mengirimkan bingkisan itu kepadanya.
“Bilang saja dari orang yang mengaguminya yah bik. Saya permisi dulu bik,
terima kasih sebelumnya” aku berlalu pergi tanpa menunggu jawaban dari bibi
yang terlihat kebingungan melihat tingkahku. Yang terpenting sekarang aku hanya
bisa berdo’a supaya apa yang ku berikan itu mampu menjadi sedikit obat
penyemangat kak Devan agar kembali tersenyum walau bukan untukku.
Keesokan harinya yang sedikit
mendung tak seperti hari-hari sebelumnya yang selalu cerah nan mempesona. Hari
ini tepat 5 hari aku tak bisa melihat sosok yang memiliki senyum bak pelangi
yang mencerahkan hari sehabis hujang dan mendung menyelimuti langit. Ku
langkahkan kedua kakiku dengan sedikit lesu menuju sekolah yang selama ini
menjadi tempat primadona yang paling sering ku kunjungi untuk menuntut ilmu di
usia remaja. Saat tiba di gerbang sekolah, tiba-tiba kedua mataku dikejutkan
dengan sebuah pemandangan yang sangat berbeda dari 5 hari sebelumnya. Ya
pemandangan yang 5 hari lalu masih sempat ku nikmati dan kini ia kembali. Kak
Devan kembali. Dan yang paling membahagiakan adalah ia kembali dengan senyuman
manisnya. Dengan semangat membaranya dan tawa khas miliknya. Betapa bahagianya
hatiku saat itu sampai aku tidak bisa melangkah dan berkata-kata. Terima kasih
tuhan, engkau kembalikan ia bersama kilau cahaya indahnya.
Istirahat pertama ku habiskan bersama ke 4 sahabatku, Rena, Ririn, Cinta dan
Shasya dengan makan di kantin sekolah dan aku yang mentraktir mereka. Mereka
sempat heran mengapa aku tiba-tiba sangat royal hari itu padahal biasanya
selalu aku yang minta di traktir. Tapi kali ini aku katakana pada mereka bahwa
aku ingin merayakan persahabtanku bersama meraka yang telah berjalan selama 2
tahun ini meskipun sebenarnya ini semua untuk kembalinya mentari pagiku kepada
sangkar emas tabiatnya.
Sambil menikmati makanan yang ada dihadapan kami, kami berbincang-bincang
mengenai hal apa saja sampai pada akhirnya, Shasya sahabatku yang paling baik
tiba-tiba menyebut nama kak Devan dalam rangkaian kalimatnya.
“ Wah,, aku seneng banget loh akhirnya kak Devan bisa masuk sekolah lagi dan
gak frustasi kayak kemarin-kemarin lagi”
“Hm.. kok bisa yah kak Devan gak frustasi lagi, apa emangnya yang bisa buat dia
balik semangat lagi?” sambung Ririn penasaran ingin tahu.
“Kalau itu sih aku kurang tahu juga, tapi yang jelas kak Devan bilang sama aku
tadi pagi kalau yang buat dia bisa bersemangat menjalani aktivitas lagi itu
adalah bingkisan yang dikirim seorang gadis misterius untuknya” tiba-tiba aku
tersedak mendengar perkataan Shasya itu dan berpura-pura bersikap sewajarnya
karena teman-temanku mulai memperhatikan tingkah anehku.
“Kamu kenapa San? Keselek ya? Makanya hati-hati dong kalo makan itu” sahut
Cinta yang begitu peduli kepada sahabatnya. Dalam hati aku berbisik bahagia,
akhirnya aku mampu memberikan sedikit sinar untuk menyinari kelamnya hari sang
malaikat penolongku. Untuk yang kedua Jkalinya, terima kasih tuhan
Tiga bulan penuh ku lalui hari-hariku setelah peristiwa indah dalam hidupku itu
terjadi. Meskipun sampai detik ini aku belum juga mampu menyapa dan bertutur
kata kepadanya. Namun aku bahagia karena setidaknya aku tak kehilangan senyuman
dari bibir indahnya. Dan aku juga bahagia karena sudah hampir 200 puisi
berhasil aku tulis tentangnya, tentang kesempurnaan hadirnya dalam perjalanan
cinta hidupku. Hari ini tanggal 10 februari tepat 5 bulan setelah aku
mengenalnya. Tidak terasa waktu ku untuk mengaguminya sudah cukup lama dan
mungkin ini tidak akan berubah entah sampai kapan aku tidak tahu. Saat tengah
menikmati indahnya sore berpayung sang rona jingga, Shasya datang ke rumahku
dan langsung bergabung duduk berdua di teras kamarku. “Hei.. tumben kamu main
kesini sob, ada angin pa nih? “Tanyaku mengawali pembicaraan.
Sahabatku itu malah tersenyum sendiri dan rona kebahagiaan Nampak jelas dari
wajahnya.
“Aku sedang jatuh cinta San, dan kali ini aku benar-benar bahagia merasakan
indahnya cinta itu” jelasnya dengan senyum yang terus menggantung di bibir
merahnya.
“Wah ternyata sahabatku lagi ditaburi dengan benih-benih cinta nih, selamet
ya.. sama siapa nih?” tanyaku ikut merasakan senang yang tak terkira.
“Itu masih rahasia sayang, nanti kalau semuanya udah seperti yang aku inginkan,
aku pasti cerita sama kamu dan juga sahabat yang lain” ucap Shasya yang
ternyata benar-benar sedang di mabuk asmara sama seperti aku yang mungkin lebih
dulu merasakannya hingga kini.
“Baiklah kalau begitu. Aku turut bahagia sobat, terus ada yang bisa aku bantu
untuk perasaanmu itu? “ tawarku yang segera disusul oleh anggukan bahagia
sahabat manisku.
“Kamu benar sekali sobat, aku memang butuh bantuanmu saat ini. Hm.. kamu kan
jagonya buat puisi tentang cinta nih, aku mau dong dibuatin satu puisi yang
isinya tentang kekaguman sama seseorang” seketika jiwaku bergetar mendengar
permintaan sahabatku itu, ternyata ia benar-benar merasakan apa yang ku rasakan
pada kak Devan dan aku segera menggangguk tersenyum menyetujui hal itu. “tentu
saja dengan senang hati sobat” Shasya menanggapi kesanggupanku dengan pelukan
kecil. Cinta itu memang indah apalagi kini aku tak sendiri merasakannya.
Hari minggu kembali datang, senyum
kebebasan dari bertumpuknya pelajaran di sekolah mulai dirasakan. Hari ini aku
berencana untuk mengunjungi Shasya dirumahnya untuk mendengarkan curahan hati
sahabatku itu mengenai pujaan hatinya yang belum ku ketahui siapa orang yang
beruntung itu.
Sesampai dirumahnya aku langsung
menemui Shasya dikamar putihnya setelah sebelumnya aku sedikit bercengkrama
dengan ibunda Shasya. Tapi yang ku lihat saat di kamarnya, Shasya sedang
menangis saat membaca pesan singkat di handphone nya. Langsung saja aku
menghampirinya dan menanyakan apa yang terjadi dan Shasya malah memelukku
sambil menangis keras.
“Shasya kamu kenapa sobat? Ayo katakan kamu kenapa? “ tanyaku coba untuk
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. “Dia.. diaa kecelakaan San…“ “Apa? Dia
siapa? Siapa yang kecelakaan” tanyaku kembali saat terkejut mendengar perkataan
sahabatku itu.
“Orang yang selama ini ku sayangi.. ku cintai.. Kak Devan kecelakaan.
Bagai tersambar petir yang menghujam dari kedua arah. Terasa aliran darahku
berhenti di sekujur tubuhku. Pandanganku kaku dan bibirku kini kelu. Semua yang
kudengar bagai dua sayatan sembilu yang begitu menoreh luka di sanubariku.
Tuhan.. mengapa ini harus terjadi, dua hal yang menyakitkan harus ku dengar dan
ku ketahui dalam waktu yang bersamaan. Rasanya tak mampu lagi ku tahan air mata
saat itu. Semua rasa bagai ingin tertumpah dalam balutan kecewa yang bernanah
dan mematikan. aku terdiam berpikir keras dalam sisa tenagaku. Dan aku mulai
menyadari bahwa tak ada guna kini aku menangisi apa yang telah terjadi.
Pangeran hidupku yang juga Cahaya indah Shasya tengah berjuang melawan kematian
di sana. Sementara kami yang benar-benar menyayanginya hanya mampu menangis.
Tidak, aku harus bangkit, tak peduli apa perasaanku saat ini yang terpenting
hanyalah aku bisa melihat Kak Devan sembuh dan tersenyum kembali.
Kamu berdua tiba di rumah sakit dan disana hanya ada kakak dan pembantu Kak
Devan. Terakhir ku dengar kedua orang tua kak Devan telah meninggal dunia pada
kecelakaan pesawat. Raut wajah Kak Revan yang merupakan saudara kak Devan
benar-benar mencemaskan kami terutama aku yang tak akan rela kalau harus
kehilangan senyumnya.
“Kak gimana keadaan kak Devan? “ Tanya Shasya saat berada disamping Kak Revan.
“Keadaannya semakin memburuk Sya, dia kehilangan banyak darah sementara rumah
sakit sedang kehabisan stok golongan darah B” ucap kak Revan perlahan seperti
habis harapan.
“Kak, golongan darah aku sama kayak kak Devan. Aku mau mendonorkannya” ucapanku
yang spontan keluar dari bibirku itu disambut dengan terbitnya senyum kecil nan
sejuk dibibir kak Revan. Kak Revan langsung memelukku lalu mengucapkan terima
kasih.
Proses pendonoran darah itu berlangsung cukup lama. Di dalam hati aku selalu
tak henti-hentinya berharap agar kak Devan, sang penyemangatku itu kembali
dapat beraktivitas seperti biasa. Meski hatiku juga kini sangat terluka karena
sayatan cinta yang juga tertuju pada kak Devan dari seorang sahabtat yang juga
kucinta. Sejak detik itu, aku membuang semua perasaan kagumku kepada kak Devan.
Aku relakan semua rasaku terlimpahkan dari sahabatku untuk sang penyemangat
hidupku.
3 hari setelah dirawat akhirnya kak Devan berhasil selamat dari kecelakaan maut
itu. Kini senyum manis mulai kembali terbit di bibir tipisnya. Aku bahagia
sangat bahagia saat berada dihadapan kak Devan yang masih terbaring lemah namun
tetap dengan senyum manis yang menghiasi.
“Devan.. kamu tahu siapa yang mendonorkan darah untuk menyelamatkanmu?”
“siapa kak? “ jawab kak Devan pelan. Saat itu tiba-tiba saja pandanganku
berubah menjadi aneh. Semua yang ada disekitarku terlihat berputar dan perutku
seakan digoncang dengan hebatnya. Dan akhirnya semua gelap.
Saat
aku membuka kedua mataku, tiba-tiba aku melihat banyak orang yang mengerumuni
seseorang yang tengah terbujur kaku diatas kasur rumah sakit yang putih.
Orang-orang itu menangis sesenggukan. Dan disana juga ada kak Devan. Ya kak
Devan.. ia menangis dengan keras dan seperti menyalahkan dirinya sendiri. Aku
kebingungan dan tak tahu apa yang terjadi. Saat aku mencoba mendekat kepada kerumunan
itu. Tiba-tiba Cinta dan Ririn datang dan langsung berlari ke arah sosok yang
terbaring kaku itu. Namun betapa terkejutnya aku saat mereka menangis mereka
memanggil manggil namaku dengan cukup keras padahal aku ada didekat mereka. Aku
langsung mendekati mereka dan mecoba berbicara namun aku kembali dikejutkan
dengan hal yang tak ku duga, mereka tak bisa mendengarku bahkan melihatku,
mereka seolah olah tak menganggap aku ada disisi mereka. Aku hanya terdiam
semakin heran memikirkan semua yang sedang terjadi. Dan saat itu kak Devan
kemudian membuka selimut yang menutupi seluruh tubuh orang yang terbujur kaku
itu. Dan saat terbuka.. serentak detak jantungku seakan berhenti dan
pandanganku menganga tak percaya. Itu aku. Aku yang sedang berbaring disana. Aku
yang sedang mereka tangisi. oh tuhan aku hampir tak percaya ternyata aku telah
kembali kepadaMu, kembali untuk menemuiMu, dan berpisah selamanya dengan
mereka.
Peristiwa
itu telah merenggut nyawaku. Aku bahagia, aku sangat bahagia karena sisa
terakhir dalam hidupku ternyata ku persembahkan untuk orang yang sangat ku
sayangi. Meski kak Devan tak mengetahui tentang 200 puisi itu, tentang
bingkisan itu, tentang kekaguman itu, dan tentang perasaan ini. Kini hanya satu
yang bisa aku sadari. Bahwa ternyata sejauh hari menutup aku mampu
mengaguminya. Selamat tinggal kak
tetaplah tersenyum untuk semua orang yang menyayangimu. DisiniJDevan aku akan selalu
merindukanmu dan berharap selalu yang terbaik untukmu.